Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan.
Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan
Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan
menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging.
Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung
Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. "Siapapun yang tidak
menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!", ujar Bandung Bondowoso pada
rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin.
Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro
Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. "Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku," pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang.
"Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi
permaisuriku ?", Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro
Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar
pertanyaan Bondowoso. "Laki-laki ini lancang sekali,
belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi
permaisurinya", ujar Loro Jongrang dalam hati. "Apa
yang harus aku lakukan ?".
Loro
Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat
Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang
tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
"Bagaimana, Loro Jonggrang ?" desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan
ide. "Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya," Katanya. "Apa syaratnya?
Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?". "Bukan itu, tuanku, kata Loro
Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. "Seribu buah?"
teriak Bondowoso.
"Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam."
Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya
bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung
Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000
candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. "Saya
percaya tuanku bisa membuat candi tersebut dengan
bantuan Jin!", kata penasehat. "Ya, benar juga usulmu,
siapkan peralatan yang kubutuhkan!"
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua
lengannya dibentangkan lebar-lebar. "Pasukan jin, Bantulah aku!" teriaknya dengan suara
menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat
kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. "Apa yang harus kami
lakukan Tuan ?", tanya pemimpin jin. "Bantu aku membangun seribu candi," pinta Bandung
Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing.
Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas,
mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. "Wah, bagaimana ini?",
ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para
dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan
mengumpulkan jerami. "Cepat bakar semua jerami itu!"
perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya
disuruhnya menumbuk lesung. Dung... dung...dung! Semburat
warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk
pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. "Wah, matahari akan terbit!" seru jin. "Kita
harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari," sambung jin yang lain. Para
jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat
heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. "Candi yang kau
minta sudah berdiri!". Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata
jumlahnya hanya 999 buah!. "Jumlahnya kurang satu!" seru Loro Jonggrang. "Berarti tuan
telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan". Bandung Bondowoso terkejut mengetahui
kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. "Tidak mungkin...", kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang.
"Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!" katanya sambil
mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro
Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat
ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah
Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.
Rabu, 25 Maret 2009
Hang Tuah
Alkisah, Di pantai barat Semenanjung Melayu, terdapat
sebuah kerajaan bernama Negeri Bintan. Waktu itu ada
seorang anak lakik-laki bernama Hang Tuah. Ia seorang
anak yang rajin dan pemberani serta sering membantu
orangtuanya mencari kayu di hutan. Hang Tuah mempunyai
empat orang kawan, yaitu Hang Jebat, Hang Lekir, Hang
Lekiu dan Hang Kesturi.
Ketika menginjak remaja, mereka bermain bersama ke laut. Mereka ingin menjadi pelaut yang ulung dan bisa membawa kapal ke negeri-negeri yang jauh. Suatu hari, mereka naik perahu sampai ke tengah laut. Hei lihat, ada tiga buah kapal! seru Hang Tuah
kepada teman-temannya. Ketiga kapal itu masih berada di kejauhan, sehingga mereka belum melihat jelas tanda-tandanya. Ketiga kapal itu semakin mendekat. Lihat bendera itu! Bendera kapal perompak! Kita lawan mereka sampai titik darah penghabisan! teriak Hang Kesturi. Kapal perompak semakin mendekati perahu Hang Tuah dan teman-temannya.
Ayo kita cari pulau untuk mendarat. Di daratan kita lebih leluasa bertempur! kata Hang Tuah mengatur siasat. Sesampainya di darat Hang Tuah mengatur siasat. Pertempuran antara Hang Tuah dan teman-temannya melawan perompak berlangsung sengit. Hang Tuah
menyerang kepala perompak yang berbadan tinggi besar dengan keris pusakanya. Hai anak
kecil, menyerahlah. Ayo letakkan pisau dapurmu! Mendengar kata-kata tersebut Hang
Tuah sangat tersinggung. Lalu ia melompat dengan gesit dan menikam sang kepala
perompak. Kepala perompak pun langsung tewas. Dalam waktu singkat Hang Tuah dan
teman-temannya berhasil melumpuhkan kawanan perompak. Mereka berhasil menawan 5
orang perompak. Beberapa perompak berhasil meloloskan diri dengan kapalnya. Kemudian Hang Tuah dan teman-temannya menghadap Sultan Bintan sambil membawa tawanan mereka. Karena keberanian dan kemampuannya, Hang Tuah dan teman-temannya diberi pangkat dalam laskar kerajaan. Beberapa tahun kemudian, Hang Tuah diangkat menjadi pimpinan armada laut. Sejak menjadi pimpinan armada laut, negeri Bintan menjadi kokoh dan makmur. Tidak ada negeri yang berani menyerang negeri Bintan.
Beberapa waktu kemudian, Sultan Bintan ingin mempersunting puteri Majapahit di Pulau
Jawa. Aku ingin disiapkan armada untuk perjalanan ke Majapahit, kata Sultan kepada
Hang Tuah. Hang Tuah segera membentuk sebuah armada tangguh. Setelah semuanya
siap, Sultan dan rombongannya segera naik ke kapal menuju ke kota Tuban yang dahulunya
merupakan pelabuhan utama milik Majapahit. Perjalanan tidak menemui hambatan sama
sekali. Pesta perkawinan Sultan berlangsung dengan meriah dan aman. Setelah selesai perhelatan perkawinan, Sultan Bintan dan permaisurinya kembali ke Malaka. Hang Tuah diangkat menjadi Laksamana. Ia memimpin armada seluruh kerajaan. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena para perwira istana menjadi iri hati. Para perwira istana menghasut Sultan. Mereka mengatakan bahwa Hang Tuah hanya bisa berfoya-foya, bergelimang dalam kemewahan dan menghamburkan uang negara. Akhirnya Sultan termakan hasutan mereka. Hang Tuah dan Hang Jebat di berhentikan. Bahkan para perwira istana mengadu domba Hang Tuah dan Hang Jebat. Mereka menuduh Hang Jebat akan memberontak. Hang Tuah terkejut mendengar berita tersebut. Ia lalu mendatangi Hang Jebat dan mencoba menasehatinya. Tetapi rupanya siasat adu domba oleh para perwira kerajaan berhasil. Hang Jebat dan Hang Tuah bertengkar dan akhirnya berkelahi. Naas bagi Hang Jebat. Ia tewas ditangan Hang Tuah. Hang Tuah sangat menyesal. Tapi bagi Sultan, Hang Tuah dianggap pahlawan karena berhasil membunuh seorang pemberontak. Kau kuangkat kembali menjadi laksamana, kata Sultan pada Hang Tuah. Sejak saat itu Hang Tuah kembali memimpin armada laut kerajaan. Suatu hari, Hang Tuah mendapatkan tugas ke negeri India untuk membangun persahabatan antara Negeri Bintan dan India. Hang Tuah di uji kesaktiannya oleh Raja India untuk menaklukkan kuda liar. Ujian itu berhasil dilalui Hang Tuah. Raja India dan para perwiranya sangat kagum. Setelah pulang dari India, Hang Tuah menerima tugas ke Cina. Kaisarnya bernama Khan. Dalam kerajaan itu tak seorang pun boleh memandang langsung muka sang kaisar. Ketika di jamu makan malam oleh Kaisar, Hang Tuah minta disediakan sayur kangkung. Ia duduk di depan Kaisar Khan. Pada waktu makan, Hang Tuah mendongak untuk memasukkan sayur kangkung ke mulutnya. Dengan demikian ia dapat melihat wajah kaisar. Para perwira kaisar marah dan hendak menangkap Hang Tuah, namun Kiasar Khan mencegahnya karena ia sangat kagum dengan kecerdikan Hang ah.Beberapa tugas kenegaraan lainnya berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Hang Tuah. Hingga pada suatu saat ia mendapat tugas menghadang armada dari barat yang dipimpin seorang admiral yang bernama D Almeida. Armada ini sangat kuat. Hang Tuah dan pasukannya segera menghadang. Pertempuran sengit segera terjadi. Saat itulah Hang Tuah gugur membela tanah airnya. Ia tewas tertembus peluru sang admiral.Sejak saat itu, nama Hang Tuah menjadi terkenal sebagai pelaut ulung, laksamana yang gagah berani dan menjadi pahlawan di Indonesia dan di Malaysia. Sebagai bentuk penghormatan, salah satu dari kapal perang Indonesia diberi nama KRI Hang Tuah. Semoga nama itu membawa "tuah" yang artinya adalah berkah.
HIKMAH :
Semua warga negara Indonesia boleh mencontoh jiwa dan semangat kepahlawanan
Hang Tuah yang gagah berani, tangkas, cerdik dan pantang menyerah.
sebuah kerajaan bernama Negeri Bintan. Waktu itu ada
seorang anak lakik-laki bernama Hang Tuah. Ia seorang
anak yang rajin dan pemberani serta sering membantu
orangtuanya mencari kayu di hutan. Hang Tuah mempunyai
empat orang kawan, yaitu Hang Jebat, Hang Lekir, Hang
Lekiu dan Hang Kesturi.
Ketika menginjak remaja, mereka bermain bersama ke laut. Mereka ingin menjadi pelaut yang ulung dan bisa membawa kapal ke negeri-negeri yang jauh. Suatu hari, mereka naik perahu sampai ke tengah laut. Hei lihat, ada tiga buah kapal! seru Hang Tuah
kepada teman-temannya. Ketiga kapal itu masih berada di kejauhan, sehingga mereka belum melihat jelas tanda-tandanya. Ketiga kapal itu semakin mendekat. Lihat bendera itu! Bendera kapal perompak! Kita lawan mereka sampai titik darah penghabisan! teriak Hang Kesturi. Kapal perompak semakin mendekati perahu Hang Tuah dan teman-temannya.
Ayo kita cari pulau untuk mendarat. Di daratan kita lebih leluasa bertempur! kata Hang Tuah mengatur siasat. Sesampainya di darat Hang Tuah mengatur siasat. Pertempuran antara Hang Tuah dan teman-temannya melawan perompak berlangsung sengit. Hang Tuah
menyerang kepala perompak yang berbadan tinggi besar dengan keris pusakanya. Hai anak
kecil, menyerahlah. Ayo letakkan pisau dapurmu! Mendengar kata-kata tersebut Hang
Tuah sangat tersinggung. Lalu ia melompat dengan gesit dan menikam sang kepala
perompak. Kepala perompak pun langsung tewas. Dalam waktu singkat Hang Tuah dan
teman-temannya berhasil melumpuhkan kawanan perompak. Mereka berhasil menawan 5
orang perompak. Beberapa perompak berhasil meloloskan diri dengan kapalnya. Kemudian Hang Tuah dan teman-temannya menghadap Sultan Bintan sambil membawa tawanan mereka. Karena keberanian dan kemampuannya, Hang Tuah dan teman-temannya diberi pangkat dalam laskar kerajaan. Beberapa tahun kemudian, Hang Tuah diangkat menjadi pimpinan armada laut. Sejak menjadi pimpinan armada laut, negeri Bintan menjadi kokoh dan makmur. Tidak ada negeri yang berani menyerang negeri Bintan.
Beberapa waktu kemudian, Sultan Bintan ingin mempersunting puteri Majapahit di Pulau
Jawa. Aku ingin disiapkan armada untuk perjalanan ke Majapahit, kata Sultan kepada
Hang Tuah. Hang Tuah segera membentuk sebuah armada tangguh. Setelah semuanya
siap, Sultan dan rombongannya segera naik ke kapal menuju ke kota Tuban yang dahulunya
merupakan pelabuhan utama milik Majapahit. Perjalanan tidak menemui hambatan sama
sekali. Pesta perkawinan Sultan berlangsung dengan meriah dan aman. Setelah selesai perhelatan perkawinan, Sultan Bintan dan permaisurinya kembali ke Malaka. Hang Tuah diangkat menjadi Laksamana. Ia memimpin armada seluruh kerajaan. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena para perwira istana menjadi iri hati. Para perwira istana menghasut Sultan. Mereka mengatakan bahwa Hang Tuah hanya bisa berfoya-foya, bergelimang dalam kemewahan dan menghamburkan uang negara. Akhirnya Sultan termakan hasutan mereka. Hang Tuah dan Hang Jebat di berhentikan. Bahkan para perwira istana mengadu domba Hang Tuah dan Hang Jebat. Mereka menuduh Hang Jebat akan memberontak. Hang Tuah terkejut mendengar berita tersebut. Ia lalu mendatangi Hang Jebat dan mencoba menasehatinya. Tetapi rupanya siasat adu domba oleh para perwira kerajaan berhasil. Hang Jebat dan Hang Tuah bertengkar dan akhirnya berkelahi. Naas bagi Hang Jebat. Ia tewas ditangan Hang Tuah. Hang Tuah sangat menyesal. Tapi bagi Sultan, Hang Tuah dianggap pahlawan karena berhasil membunuh seorang pemberontak. Kau kuangkat kembali menjadi laksamana, kata Sultan pada Hang Tuah. Sejak saat itu Hang Tuah kembali memimpin armada laut kerajaan. Suatu hari, Hang Tuah mendapatkan tugas ke negeri India untuk membangun persahabatan antara Negeri Bintan dan India. Hang Tuah di uji kesaktiannya oleh Raja India untuk menaklukkan kuda liar. Ujian itu berhasil dilalui Hang Tuah. Raja India dan para perwiranya sangat kagum. Setelah pulang dari India, Hang Tuah menerima tugas ke Cina. Kaisarnya bernama Khan. Dalam kerajaan itu tak seorang pun boleh memandang langsung muka sang kaisar. Ketika di jamu makan malam oleh Kaisar, Hang Tuah minta disediakan sayur kangkung. Ia duduk di depan Kaisar Khan. Pada waktu makan, Hang Tuah mendongak untuk memasukkan sayur kangkung ke mulutnya. Dengan demikian ia dapat melihat wajah kaisar. Para perwira kaisar marah dan hendak menangkap Hang Tuah, namun Kiasar Khan mencegahnya karena ia sangat kagum dengan kecerdikan Hang ah.Beberapa tugas kenegaraan lainnya berhasil dilaksanakan dengan baik oleh Hang Tuah. Hingga pada suatu saat ia mendapat tugas menghadang armada dari barat yang dipimpin seorang admiral yang bernama D Almeida. Armada ini sangat kuat. Hang Tuah dan pasukannya segera menghadang. Pertempuran sengit segera terjadi. Saat itulah Hang Tuah gugur membela tanah airnya. Ia tewas tertembus peluru sang admiral.Sejak saat itu, nama Hang Tuah menjadi terkenal sebagai pelaut ulung, laksamana yang gagah berani dan menjadi pahlawan di Indonesia dan di Malaysia. Sebagai bentuk penghormatan, salah satu dari kapal perang Indonesia diberi nama KRI Hang Tuah. Semoga nama itu membawa "tuah" yang artinya adalah berkah.
HIKMAH :
Semua warga negara Indonesia boleh mencontoh jiwa dan semangat kepahlawanan
Hang Tuah yang gagah berani, tangkas, cerdik dan pantang menyerah.
Labels:
Cerita u/ yg g bs tdr
Sungai Jodoh
Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis
yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. Ular! teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat
dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu
memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib, setiap Mah Bongsu
membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka
tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri
Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah
ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga
bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebihi Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara
tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan
memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan
berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah
Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah
menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah
Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang
yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut mereka.Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka
mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari
kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi.
Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih
banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut! Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang ketakutan. Anakku, jangan takut.
Bertaha
nlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin
menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk
ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat
pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah
Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi
hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau
berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya.
Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi
bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud
menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya
kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan. Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga
hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan.
Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan
ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang
dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi
pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai
Jodoh.
HIKMAH :
Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap
menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama
yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. Ular! teriak Mah Bongsu ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat
dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu
memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib, setiap Mah Bongsu
membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka
tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri
Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah
ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga
bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebihi Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara
tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan
memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan
berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah
Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah
menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah
Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang
yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut mereka.Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka
mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari
kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi.
Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih
banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut! Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang ketakutan. Anakku, jangan takut.
Bertaha
nlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin
menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk
ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat
pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah
Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi
hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau
berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya.
Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi
bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud
menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya
kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan. Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga
hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan.
Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan
ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang
dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi
pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai
Jodoh.
HIKMAH :
Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap
menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama
yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
Labels:
Cerita u/ yg g bs tdr
Indiana Corn
It was a wide river, with many great curves in it, and in one of these there lived a large number of wild pigs. Nobody could remember how they had got there, but they managed to live through floods, fires, ice and attacks by hunter.
Then one day a stranger come to the nearest village and asked where he could find the wild pigs. Somebody told him, and he went off. He had no weapons with him, and the village people wondered what he was going to do with the pigs.
When he came back a few months later and said that he had caught all the pigs, the villagers were still more surprised, but some of the man agreed to go with him when he asked for help in bringing the pigs out. They wanted to see whether he was telling the truth.
They soon discovered that he was. All the pigs were inside an enclosure which had a fence round it and a gate in one of its sides.
‘How did you do it?’ they asked the stranger.
‘Well, it was quit easy really,’ he answered. ‘I began by putting out some Indiana corn. At first, they would not touch it, but after a few weeks, some of the younger pigs began to run out of the bushes, take some of the corn quickly, and then return back. Soon all the pigs were eating the corn I put out. Then I began to build a fence round the corn. At first it was very low, but gradually I build it higher and higher without frightening the pigs away. When I saw that they were waiting for me to bring the corn each day instead of going and searching for their own food as they had done in the past, I build a gate in my fence and shut it one day while they were all eating inside the enclosure. I can catch any animal in the world in the same way if I can get into the habit of depending on me for its food.’
Then one day a stranger come to the nearest village and asked where he could find the wild pigs. Somebody told him, and he went off. He had no weapons with him, and the village people wondered what he was going to do with the pigs.
When he came back a few months later and said that he had caught all the pigs, the villagers were still more surprised, but some of the man agreed to go with him when he asked for help in bringing the pigs out. They wanted to see whether he was telling the truth.
They soon discovered that he was. All the pigs were inside an enclosure which had a fence round it and a gate in one of its sides.
‘How did you do it?’ they asked the stranger.
‘Well, it was quit easy really,’ he answered. ‘I began by putting out some Indiana corn. At first, they would not touch it, but after a few weeks, some of the younger pigs began to run out of the bushes, take some of the corn quickly, and then return back. Soon all the pigs were eating the corn I put out. Then I began to build a fence round the corn. At first it was very low, but gradually I build it higher and higher without frightening the pigs away. When I saw that they were waiting for me to bring the corn each day instead of going and searching for their own food as they had done in the past, I build a gate in my fence and shut it one day while they were all eating inside the enclosure. I can catch any animal in the world in the same way if I can get into the habit of depending on me for its food.’
Labels:
Stories
A Miracle of Mermaids
The child was inconsolable after her father died. Nothing seemed to help until……………………………
Rhonda Gill froze as she heard her four-year-old daughter, Desiree, sobbing quietly in the family room that morning in October 1993. Rhonda tiptoed through the doorway. The tiny dark-haired child was hugging a photograph of her father, who had died nine months earlier. Rhonda, 24, watched as Desiree gently ran her fingers around her father’s face. “Daddy,” she said softly, “why won’t you come back?”
The petite brunette university student felt a surge of despair. It had been hard enough coping with her husband Ken’s death, but her daughter’s grief was more than she could bear. If only I could tear the pain out of her, Rhonda thought.
Ken Gill and Rhonda Hill of Yuba City, California, had met when Rhonda was 18, and had married after a whirlwind courtship. Their daughter, Desiree, was born on January9, 1989.
Although a muscular six feet inches tall, Ken was a gentle man whom everyone loved. His big passion was his daughter. “She’s real daddy’s girl,” Rhonda would often say as Ken’s eyes twinkled with pride. Father and daughter went everywhere together: hiking, dun- buggy riding and fishing for bass and salmon on the Feather River.
Instead of gradually adjusting to her father’s death, Desiree had refused to accept it. “Daddy will be home soon,” she would tell her mother. “He‘s at work.” When she played with her toy telephone, she pretended she was chatting with him. “I miss you, Daddy,” she’d say. “When will you come back?”
Immediately after Ken’s death, Rhonda moved from her apartment in Yuba City to her mother’s home in nearby Live Oak. Seven weeks after the funeral, Desiree was still inconsolable. “I just don’t know what to do,” Rhonda told her mother, Trish Moore, a 47-year-old medical assistant.
One evening the three of them sat outside, gazing at the stars over the Sacramento Valley. “See that one, Desiree?” Her grandmother pointed at a bright speck near the horizon. “that’s your daddy shining down from heaven.” Several nights later Rhonda woke to find Desiree on the doorstep in her pajamas, weeping as she sought her daddy’s star. Twice they took her to a child therapist, but nothing seemed to help.
As a last resort, Trish took Desiree to Ken’s grave, hoping that it would help her come to terms with his death. The child laid her head against his gravestone and said, “Maybe if I listen hard enough I can hear Daddy talk to me.”
Then one evening, as Rhonda tucked her child in, Desiree announced, “I want to die, Mommy, so I can be with Daddy.” God help me, Rhonda prayed. What more can I possibly do?
November8, 1993, would have Ken’s 29th birthday. “How will I send him a card?” Desiree asked her grandmother.
“How about if we tie a letter to a balloon,” Trish said, “and send it up to heaven?” Desiree’s eyes immediately lit up.
On their way to the cemetery, the back seat of the car full of flowers for their planned visit to the grave, the three stopped at store. “Help Mom picked out a balloon,” Trish instructed. At a rack where dozens of helium-filled silver Mylar balloons bobbed, Desiree made an instant decision: “That one!” HAPPY BIRTHDAY was emblazoned above a drawing of the Little Mermaid from the Disney film. Desiree and her father had often watched the video together.
The child’s eyes shone as they arranged flowers on Ken’s grave. It was a beautiful day, with a slight breeze rippling the eucalyptus trees. Then Desiree dictated a letter to her dad. “Tell him `Happy Birthday. I love you and miss you, `” she rattled off. “1I hope you get this and can write mo on my birthday in January. `”
Trish wrote the message and their address on a small piece of paper, which was wrapped in plastic and tied to the end of the string on the balloon.
For almost an hour they watched the shining spot of silver grow even smaller. “Okay,” Trish said at last. “Time to go home.” Rhonda and Trish were beginning to walk slowly from the grave when they heard Desiree shout exactly, “Did you see that? I saw Daddy reach down and take it!” The balloon, visible just moments earlier, had disappeared. “Now Dad’s going to wrote me back,” Desiree declared s she walked past them toward the car.
ON A COLD, rainy November morning on Prince Edward Island in eastern Canada, 32-year-old Wade MacKinnon pulled on his water-proof duck-hunting gear. MacKinnon, a forest ranger, lived with his wife and three children in Mermaid, a rural community a few miles east of Charlottetown.
But instead of driving to the estuary where he usually hunted, he suddenly decided to go to Mermaid Lake, two miles away. Leaving his pickup, he hiked past dripping spruce and pine and soon entered a cranberry bog surrounding the 23-acre lake. In bushes on the shoreline, something fluttered and caught his eye. Curious, he approached to find a silver balloon snagged in the branches of a thigh-high bayberry bush. Printed on one side was a picture of mermaid. When he untangled the string, he found a soggy piece of paper at the end of it, win plastic.
At home, MacKinnon carefully removed the wet note, allowing it to dry. When his wife, Donna, came home later, he said “Look at this” and showed her the balloon and note. Intrigued, she read: “November8, 1993. Happy Birthday Daddy…” It finished with a mailing address in Live Oak, California.
“It’s only November 12,” Wade exclaimed. “This balloon traveled 3000 miles in four days!”
“And look,” said Donna, turning the balloon over. “This is a Little Mermaid balloon, and it landed in Mermaid Lake.”
“We have to write to Desiree,” Wade said. “Maybe we were chosen to help this little girl.” But he could see that his wife didn’t feel the same way. With tears in her eyes, Donna stepped away from the balloon. “Such a young girl having to deal with death—it’s awful,” she said.
Wade let the matter rest. He placed the note in a drawer and tied the balloon, still buoyant, to the railing of the balcony overlooking their living room. But the sight of the balloon made Donna uncomfortable. A few days later, she stuffed it in a closet.
As the weeks went by, however, Donna found herself thinking more and more about the balloon. It had flown over the Rocky Mountain and The Great Lakes. Just a few more miles and it would have landed in the ocean. Instead it had stopped there, in Mermaid.
Our three children are so lucky, she thought. They have two healthy parents. She imagined how their daughter, Hailey, almost two years old, would feel if Wade were to die.
The next morning, Donna said to Wade: “you’re right. We have this balloon for a reason. We have to try to help Desiree.”
IN A CHARLOTTETOWN BOOKSTORE Donna MacKinnon bought an adaptation of The Little Mermaid. A few days later, just after Christmas, Wade brought home a birthday card that read “For a Dear Daughter, Loving Birthday Wishes.”
Donnas sat down one morning to write a letter to Desiree. When she finished, tucked in into the birthday card, wrapped it up with the book and mailed the package on January3, 1994.
DESIREE’S FIFTH BIRTHDAY came and went quietly with a small party on January9. Every day since they’d released the balloon, Desiree had asked Rhonda, “Do you Think Daddy has my balloon yet?” After her party she stopped asking.
Late on the afternoon of January19, the MacKinnon Package arrived. Busy cooking dinner, Trish looked at the unfamiliar return address and assumed it was a birthday gift for her granddaughter from someone in Ken’s family. Rhonda and Desiree had moved back to Yuba City, so Trish decided to deliver it to Rhonda next days.
As Trish watched television that evening, a thought nagged at her. Why would someone send a parcel for Desiree to this address? Tearing the package open, she found the card. “For a Dear Daughter…” Her heart raced. Dear God! She thought, and reached the telephone. It was after midnight, but she had to call Rhonda.
WHEN TRISH, eyes red weeping, pulled into Rhonda driveway the next morning at 6.45, her daughter and granddaughter were already up. Rhonda and Trish sat Desiree between them on the couch. Trish said, “Desiree, this is for you,” and handed her the parcel. “It’s from your daddy.”
“I know,” said Desiree matter-of-factly. “Here, Grandma, read it to me.”
“Happy birthday from your daddy,” Trish began. “I guess you must be wondering who we are. Well, it all started in November when my husband, Wade, went duck hunting. Guess what we found? A Mermaid balloon that you sent your daddy…” Trish paused. A single tear began to trickle down Desiree’s cheek. “There are no stores in heaven, so your daddy wanted someone to do his shopping for him. I think he picked us because we lived in a town called Mermaid.”
Trish continued reading: “I know your daddy would want you to be happy and not sad. I know he loves you very much and will always be watching over you. Lots of love, the MacKinnons.”
When Trish finished reading, she looked at Desiree. “I knew Daddy would find a way not to forget me,” the child said.
Wiping the tears from her eyes, Trish put her arm around Desiree and began to read The Little Mermaid that the MacKinnons had sent. The story was different from the one Ken had so often read to the child. In that version, The Little Mermaid lives happily ever after with the handsome prince. But in the new one, she dies because a wicked witch has taken her tail. Three angel carry her away.
Rhonda Gill froze as she heard her four-year-old daughter, Desiree, sobbing quietly in the family room that morning in October 1993. Rhonda tiptoed through the doorway. The tiny dark-haired child was hugging a photograph of her father, who had died nine months earlier. Rhonda, 24, watched as Desiree gently ran her fingers around her father’s face. “Daddy,” she said softly, “why won’t you come back?”
The petite brunette university student felt a surge of despair. It had been hard enough coping with her husband Ken’s death, but her daughter’s grief was more than she could bear. If only I could tear the pain out of her, Rhonda thought.
Ken Gill and Rhonda Hill of Yuba City, California, had met when Rhonda was 18, and had married after a whirlwind courtship. Their daughter, Desiree, was born on January9, 1989.
Although a muscular six feet inches tall, Ken was a gentle man whom everyone loved. His big passion was his daughter. “She’s real daddy’s girl,” Rhonda would often say as Ken’s eyes twinkled with pride. Father and daughter went everywhere together: hiking, dun- buggy riding and fishing for bass and salmon on the Feather River.
Instead of gradually adjusting to her father’s death, Desiree had refused to accept it. “Daddy will be home soon,” she would tell her mother. “He‘s at work.” When she played with her toy telephone, she pretended she was chatting with him. “I miss you, Daddy,” she’d say. “When will you come back?”
Immediately after Ken’s death, Rhonda moved from her apartment in Yuba City to her mother’s home in nearby Live Oak. Seven weeks after the funeral, Desiree was still inconsolable. “I just don’t know what to do,” Rhonda told her mother, Trish Moore, a 47-year-old medical assistant.
One evening the three of them sat outside, gazing at the stars over the Sacramento Valley. “See that one, Desiree?” Her grandmother pointed at a bright speck near the horizon. “that’s your daddy shining down from heaven.” Several nights later Rhonda woke to find Desiree on the doorstep in her pajamas, weeping as she sought her daddy’s star. Twice they took her to a child therapist, but nothing seemed to help.
As a last resort, Trish took Desiree to Ken’s grave, hoping that it would help her come to terms with his death. The child laid her head against his gravestone and said, “Maybe if I listen hard enough I can hear Daddy talk to me.”
Then one evening, as Rhonda tucked her child in, Desiree announced, “I want to die, Mommy, so I can be with Daddy.” God help me, Rhonda prayed. What more can I possibly do?
November8, 1993, would have Ken’s 29th birthday. “How will I send him a card?” Desiree asked her grandmother.
“How about if we tie a letter to a balloon,” Trish said, “and send it up to heaven?” Desiree’s eyes immediately lit up.
On their way to the cemetery, the back seat of the car full of flowers for their planned visit to the grave, the three stopped at store. “Help Mom picked out a balloon,” Trish instructed. At a rack where dozens of helium-filled silver Mylar balloons bobbed, Desiree made an instant decision: “That one!” HAPPY BIRTHDAY was emblazoned above a drawing of the Little Mermaid from the Disney film. Desiree and her father had often watched the video together.
The child’s eyes shone as they arranged flowers on Ken’s grave. It was a beautiful day, with a slight breeze rippling the eucalyptus trees. Then Desiree dictated a letter to her dad. “Tell him `Happy Birthday. I love you and miss you, `” she rattled off. “1I hope you get this and can write mo on my birthday in January. `”
Trish wrote the message and their address on a small piece of paper, which was wrapped in plastic and tied to the end of the string on the balloon.
For almost an hour they watched the shining spot of silver grow even smaller. “Okay,” Trish said at last. “Time to go home.” Rhonda and Trish were beginning to walk slowly from the grave when they heard Desiree shout exactly, “Did you see that? I saw Daddy reach down and take it!” The balloon, visible just moments earlier, had disappeared. “Now Dad’s going to wrote me back,” Desiree declared s she walked past them toward the car.
ON A COLD, rainy November morning on Prince Edward Island in eastern Canada, 32-year-old Wade MacKinnon pulled on his water-proof duck-hunting gear. MacKinnon, a forest ranger, lived with his wife and three children in Mermaid, a rural community a few miles east of Charlottetown.
But instead of driving to the estuary where he usually hunted, he suddenly decided to go to Mermaid Lake, two miles away. Leaving his pickup, he hiked past dripping spruce and pine and soon entered a cranberry bog surrounding the 23-acre lake. In bushes on the shoreline, something fluttered and caught his eye. Curious, he approached to find a silver balloon snagged in the branches of a thigh-high bayberry bush. Printed on one side was a picture of mermaid. When he untangled the string, he found a soggy piece of paper at the end of it, win plastic.
At home, MacKinnon carefully removed the wet note, allowing it to dry. When his wife, Donna, came home later, he said “Look at this” and showed her the balloon and note. Intrigued, she read: “November8, 1993. Happy Birthday Daddy…” It finished with a mailing address in Live Oak, California.
“It’s only November 12,” Wade exclaimed. “This balloon traveled 3000 miles in four days!”
“And look,” said Donna, turning the balloon over. “This is a Little Mermaid balloon, and it landed in Mermaid Lake.”
“We have to write to Desiree,” Wade said. “Maybe we were chosen to help this little girl.” But he could see that his wife didn’t feel the same way. With tears in her eyes, Donna stepped away from the balloon. “Such a young girl having to deal with death—it’s awful,” she said.
Wade let the matter rest. He placed the note in a drawer and tied the balloon, still buoyant, to the railing of the balcony overlooking their living room. But the sight of the balloon made Donna uncomfortable. A few days later, she stuffed it in a closet.
As the weeks went by, however, Donna found herself thinking more and more about the balloon. It had flown over the Rocky Mountain and The Great Lakes. Just a few more miles and it would have landed in the ocean. Instead it had stopped there, in Mermaid.
Our three children are so lucky, she thought. They have two healthy parents. She imagined how their daughter, Hailey, almost two years old, would feel if Wade were to die.
The next morning, Donna said to Wade: “you’re right. We have this balloon for a reason. We have to try to help Desiree.”
IN A CHARLOTTETOWN BOOKSTORE Donna MacKinnon bought an adaptation of The Little Mermaid. A few days later, just after Christmas, Wade brought home a birthday card that read “For a Dear Daughter, Loving Birthday Wishes.”
Donnas sat down one morning to write a letter to Desiree. When she finished, tucked in into the birthday card, wrapped it up with the book and mailed the package on January3, 1994.
DESIREE’S FIFTH BIRTHDAY came and went quietly with a small party on January9. Every day since they’d released the balloon, Desiree had asked Rhonda, “Do you Think Daddy has my balloon yet?” After her party she stopped asking.
Late on the afternoon of January19, the MacKinnon Package arrived. Busy cooking dinner, Trish looked at the unfamiliar return address and assumed it was a birthday gift for her granddaughter from someone in Ken’s family. Rhonda and Desiree had moved back to Yuba City, so Trish decided to deliver it to Rhonda next days.
As Trish watched television that evening, a thought nagged at her. Why would someone send a parcel for Desiree to this address? Tearing the package open, she found the card. “For a Dear Daughter…” Her heart raced. Dear God! She thought, and reached the telephone. It was after midnight, but she had to call Rhonda.
WHEN TRISH, eyes red weeping, pulled into Rhonda driveway the next morning at 6.45, her daughter and granddaughter were already up. Rhonda and Trish sat Desiree between them on the couch. Trish said, “Desiree, this is for you,” and handed her the parcel. “It’s from your daddy.”
“I know,” said Desiree matter-of-factly. “Here, Grandma, read it to me.”
“Happy birthday from your daddy,” Trish began. “I guess you must be wondering who we are. Well, it all started in November when my husband, Wade, went duck hunting. Guess what we found? A Mermaid balloon that you sent your daddy…” Trish paused. A single tear began to trickle down Desiree’s cheek. “There are no stores in heaven, so your daddy wanted someone to do his shopping for him. I think he picked us because we lived in a town called Mermaid.”
Trish continued reading: “I know your daddy would want you to be happy and not sad. I know he loves you very much and will always be watching over you. Lots of love, the MacKinnons.”
When Trish finished reading, she looked at Desiree. “I knew Daddy would find a way not to forget me,” the child said.
Wiping the tears from her eyes, Trish put her arm around Desiree and began to read The Little Mermaid that the MacKinnons had sent. The story was different from the one Ken had so often read to the child. In that version, The Little Mermaid lives happily ever after with the handsome prince. But in the new one, she dies because a wicked witch has taken her tail. Three angel carry her away.
Labels:
Stories
A Sister Helping Hand
Heidi and Paul Jackson’s twin girls, Brielle and Kyrie were born October 17, 1995, 12 week ahead of their due date. Standard hospital practice is to place preemie twins in separate incubators of reduce the risk of infection. That was done for the Jackson girls in the neonatal intensive care unit at The Medical Center of Central Massachusetts in the eastern United States.
Kyrie, the larger sister at two pounds three ounces quickly began gaining weight and calmly sleeping her newborn days way. But Brielle, who weighed only two pounds at birth couldn’t keep up with her. She had breathing and heart-rate problems. The oxygen level in her blood was low, and her weight gain was slow.
Suddenly, on November 12, Brielle went into critical condition. She began gasping for breath and her face stick-thin arms and legs turned bluish-gray. Her heart rate was way up, and she got hiccups, a dangerous sign that her body was under stress. Her parents watched, terrified that she might die.
Nurse Gayle Kasparian tried everything she could think of to stabilize Brielle. She suctioned her breathing passages and turn up the oxygen flow to the incubator. Still Brielle squirmed and fussed as her oxygen intake plummeted and her rate soared.
Then Kasparian remembered something she had heard from a colleague. It was a procedure, common in parts of Europe but almost unheard of in America, that called for double-bedding multiple-birth babies, especially preemies.
Kasparian’s nurse manager, Susan Fitzback, was away at a conference, and the arrangement was unorthodox. But Kasparian decided to take the risk.
“Let me just try putting Brielle in with sister to see if that helps,” she said to the alarmed parents. “I don’t know what else to do.”
The Jackson quickly gave the go-ahead, and Kasparian slipped the squirming baby into the incubator holding the sister she hadn’t seen since birth. Then Kasparian and the Jackson watched.
No sooner had the door of the incubator closed then Brielle snuggled up to Kyrie and calmed right down. Within minutes Brielle’s blood-oxygen readings were the best they had been since she was born. And as she dozed, Kyrie wrapped her tiny arm around her smaller sibling.
By coincidence, the conference Fitzback was attending included a presentation on double-bedding. This is something I want to see happen at The Medical Center she though. But it might be hard making the change. On her return she was doing rounds when the nurse caring for the twins that morning said, “Sue, take a look in that isolate over there.”
“I can’t believe this,” Fitzback said. “This is so beautiful.”
“You Mean, we can do it?” asked the nurse.
“Of course we can,” Fitzback replied.
Today a handful of institutions around America are adopting double-bedding, which seems to reduce the number of hospital days. The practice is growing quickly, even though the first scientific studies on it didn’t begin until this past January.
But Heidi and Paul Jackson don’t need any studies to know that double-bedding, helped Brielle, She is thriving. In fact, now that two girls are home, they still sleep together and still snuggle.
Kyrie, the larger sister at two pounds three ounces quickly began gaining weight and calmly sleeping her newborn days way. But Brielle, who weighed only two pounds at birth couldn’t keep up with her. She had breathing and heart-rate problems. The oxygen level in her blood was low, and her weight gain was slow.
Suddenly, on November 12, Brielle went into critical condition. She began gasping for breath and her face stick-thin arms and legs turned bluish-gray. Her heart rate was way up, and she got hiccups, a dangerous sign that her body was under stress. Her parents watched, terrified that she might die.
Nurse Gayle Kasparian tried everything she could think of to stabilize Brielle. She suctioned her breathing passages and turn up the oxygen flow to the incubator. Still Brielle squirmed and fussed as her oxygen intake plummeted and her rate soared.
Then Kasparian remembered something she had heard from a colleague. It was a procedure, common in parts of Europe but almost unheard of in America, that called for double-bedding multiple-birth babies, especially preemies.
Kasparian’s nurse manager, Susan Fitzback, was away at a conference, and the arrangement was unorthodox. But Kasparian decided to take the risk.
“Let me just try putting Brielle in with sister to see if that helps,” she said to the alarmed parents. “I don’t know what else to do.”
The Jackson quickly gave the go-ahead, and Kasparian slipped the squirming baby into the incubator holding the sister she hadn’t seen since birth. Then Kasparian and the Jackson watched.
No sooner had the door of the incubator closed then Brielle snuggled up to Kyrie and calmed right down. Within minutes Brielle’s blood-oxygen readings were the best they had been since she was born. And as she dozed, Kyrie wrapped her tiny arm around her smaller sibling.
By coincidence, the conference Fitzback was attending included a presentation on double-bedding. This is something I want to see happen at The Medical Center she though. But it might be hard making the change. On her return she was doing rounds when the nurse caring for the twins that morning said, “Sue, take a look in that isolate over there.”
“I can’t believe this,” Fitzback said. “This is so beautiful.”
“You Mean, we can do it?” asked the nurse.
“Of course we can,” Fitzback replied.
Today a handful of institutions around America are adopting double-bedding, which seems to reduce the number of hospital days. The practice is growing quickly, even though the first scientific studies on it didn’t begin until this past January.
But Heidi and Paul Jackson don’t need any studies to know that double-bedding, helped Brielle, She is thriving. In fact, now that two girls are home, they still sleep together and still snuggle.
Labels:
Stories
Mertua
Salah satu penyebab suami istri rebut adalah sesosok wanita tua yaitu ibu mertua. Setidaknyademikianlah pengakuan Pak Jono yang telah menikahi Bu Jono hamper dua puluh tahun, yang kini telah menjadi ayah dua remaja, Yanto dan Susi.
Sejak Bu Danu, ibu kandung Pak Jono, tinggal di rumah mereka, Pak Jono sering cekcok. Penyebabnya tidak lain adalah Bu Danu.
“Tak kusangka ibumu penyabar, baik hati, lemah-lembut, dan saying padaku. Aku tahu bahwa Mas harus berbakti kepada orang tua. Namun, kehadirannya di rumah ini Mas, membuat aku tidak bebas, merasa tertekan, dan seraba kikuk,” begitu selalu jawaban Bu Jono bila ditanya mengapa cemberit terus.
Pak Jono yang mencoba menentramkanhati istrinya selalu berkata, “Sewajarnya kalau kita sama-sama menghormati, baik kepada orang tua maupun mertua.”
“Apakah selama ini aku tidak menghormati ibumu, Mas?” Tanya Bu Jono. “Saya tahu … sudah, namun aku sekedar mengingatkanmu,” kata Pak Jono. “Aku juga berhak mengingatkanmu, Mas! Sebelum ibumu tinggal di rumah ini, kita tentram dan jarang cekcok. Namun sekarang, hamper setiap hari cekcok, keadaan yang semula damai menjadi tegang.”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya..”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya.
“Saya tahu, Mas, bahwa anak harus membalas budi ibu yang telah mengandungnya, terlebih ibumu yang semakin tua. Tetapi kau lupa, Mas, dulu aku hormat kepada ibumu, namun aku sekarang menganggapnya sebagai pengganggu ketentraman kita …!”
Pak Jono merasa tercekik lehernya, sesak napasnya. Tak terasa istrinya bertambah nekat, berani membanting piring di depan hidungnya. Puncak pertengkaran terjadi dan Bu Jono berkata dengan kerasnya, “lebih baik ibumu di titipkan di rumah jompo saja, Mas!”
“Rumah jompo …?!” ulang Pak Jono tanpa sadar. Ia dipenuhi bayangan sosok rumah jompo yang teronggok sedih di mulut liang kuburan. Di sanakah tempat yang tepat untuk ibuku …? Tempat orang yang telah mengandungku, menyusuiku, da membesarkanku? Di sanakah tempat ibuku? Di tempat sunyi yang pekat dengan perasaan telah ditinggalkan anak, cucu,dan menantu yang katanya dengan tulus mencintainya?”
“Kau harus menjelaskan kepada ibumu, Mas! Kalau tidak aku yang akan bicara!” kata Bu Jono keras. “Jangan …! Aku yang bicara!” kata Pak Jono. Ia khawatir kalau istrinya yang bicara akan keras-keras karena Bu Danu sudah tuli dan itu tentu akan terdengar oleh tetangga.
Seakan ditolong oleh malaikat, Pak Jono mampu mengutarakan perihal rumah jompo kepada ibu kandungnya. Di luar dugaannya, dengan senyum Bu Danu bersedia pergi dari rumah itu dan berkata, “Kebahagiaan kalian lebih penting dari kebahagiaan yang dapat kukecap di akhir hidupku,” katanya parau dalam senyum tulus seorang ibu.
Di kala Bu Danu melipat baju dan kain yang tidak lebih dari tiga lembar dan dimasukkan ke dalam tas plastik, Pak Jono merasa betapa matanya panas, dadanya sesak, dan rongga perutnya perih terpilin perasaan sedih namun tak berdaya. Dengan kaki gemetar Pak Jono berdiri di sisi Bu Danu yang tampak renta tetapi tegar dan kukuh.
“Mana istrimu, Ibu mau pamit …,” kata Bu Danu teduh. Seakan disulap, tiba-tiba Bu Jono sudah berada di samping suaminya. “Sering-sering Ibu ditengok, ya …,” ucap Bu Danu datar. “Oh tentu, Bu, tentu …!” Sahut Bu Jono mesra dan ramah. Pak Jono tidak memahami arti kata-kata istrinya yang tiba-tiba lembut dan ramah itu. Ia merasa di awing-awang ketika menggandeng ibunya menuju becak yang telah menunggu. Dunia terasa kosong dan hampa.
Sejak Bu Danu tinggal di rumah jompo, Pak Jono sering benggong, bukan karena rindu kepada ibunya, bukan pula menyesal mempunyai istri Bu Jono. Tidak. Ia akan tetap mencintai istrinya untuk selamanya.
Setiap malam, di kala Pak Jono terbangun, ia menatap lekat wajah istrinya yang sedang pulas beermimpi …., istrinya kini semakin tua, sudah tidak cantik lagi seperti dua puluh tahun yang lalu. Kini Yanto dan Susi sudah mulai pacaran. Bila kedua anaknya menikah, Pak Jono dan Bu Jono juga akan menjadi mertua.
“Semua orang akan tua, suami-istri pada akhirnya akan mempunyai menantu dan menjadi mertua,” batin Pak Jono sambil melirik istrinya yang tidur lelap. Ingin sebenarnya Pak Jono membengunkan istrinya dan mengatakan bahwa ia takut menjadi mertua, terutama bila ibu kandungnya saat ini berada di rumah jompo. Tapi, keinginannya tinggal keinginan, tak pernah terlaksana.
Bu Jono tidak pernah menyadari bahwa dirinya suatu saat kelak jiga akan mempunyai menantu perempuan, juga akan menjadi mertua, bahkan mungkin juga akan menjadi makluk penyebaba persengketaan antara suami-istri.
Sejak Bu Danu, ibu kandung Pak Jono, tinggal di rumah mereka, Pak Jono sering cekcok. Penyebabnya tidak lain adalah Bu Danu.
“Tak kusangka ibumu penyabar, baik hati, lemah-lembut, dan saying padaku. Aku tahu bahwa Mas harus berbakti kepada orang tua. Namun, kehadirannya di rumah ini Mas, membuat aku tidak bebas, merasa tertekan, dan seraba kikuk,” begitu selalu jawaban Bu Jono bila ditanya mengapa cemberit terus.
Pak Jono yang mencoba menentramkanhati istrinya selalu berkata, “Sewajarnya kalau kita sama-sama menghormati, baik kepada orang tua maupun mertua.”
“Apakah selama ini aku tidak menghormati ibumu, Mas?” Tanya Bu Jono. “Saya tahu … sudah, namun aku sekedar mengingatkanmu,” kata Pak Jono. “Aku juga berhak mengingatkanmu, Mas! Sebelum ibumu tinggal di rumah ini, kita tentram dan jarang cekcok. Namun sekarang, hamper setiap hari cekcok, keadaan yang semula damai menjadi tegang.”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya..”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya.
“Saya tahu, Mas, bahwa anak harus membalas budi ibu yang telah mengandungnya, terlebih ibumu yang semakin tua. Tetapi kau lupa, Mas, dulu aku hormat kepada ibumu, namun aku sekarang menganggapnya sebagai pengganggu ketentraman kita …!”
Pak Jono merasa tercekik lehernya, sesak napasnya. Tak terasa istrinya bertambah nekat, berani membanting piring di depan hidungnya. Puncak pertengkaran terjadi dan Bu Jono berkata dengan kerasnya, “lebih baik ibumu di titipkan di rumah jompo saja, Mas!”
“Rumah jompo …?!” ulang Pak Jono tanpa sadar. Ia dipenuhi bayangan sosok rumah jompo yang teronggok sedih di mulut liang kuburan. Di sanakah tempat yang tepat untuk ibuku …? Tempat orang yang telah mengandungku, menyusuiku, da membesarkanku? Di sanakah tempat ibuku? Di tempat sunyi yang pekat dengan perasaan telah ditinggalkan anak, cucu,dan menantu yang katanya dengan tulus mencintainya?”
“Kau harus menjelaskan kepada ibumu, Mas! Kalau tidak aku yang akan bicara!” kata Bu Jono keras. “Jangan …! Aku yang bicara!” kata Pak Jono. Ia khawatir kalau istrinya yang bicara akan keras-keras karena Bu Danu sudah tuli dan itu tentu akan terdengar oleh tetangga.
Seakan ditolong oleh malaikat, Pak Jono mampu mengutarakan perihal rumah jompo kepada ibu kandungnya. Di luar dugaannya, dengan senyum Bu Danu bersedia pergi dari rumah itu dan berkata, “Kebahagiaan kalian lebih penting dari kebahagiaan yang dapat kukecap di akhir hidupku,” katanya parau dalam senyum tulus seorang ibu.
Di kala Bu Danu melipat baju dan kain yang tidak lebih dari tiga lembar dan dimasukkan ke dalam tas plastik, Pak Jono merasa betapa matanya panas, dadanya sesak, dan rongga perutnya perih terpilin perasaan sedih namun tak berdaya. Dengan kaki gemetar Pak Jono berdiri di sisi Bu Danu yang tampak renta tetapi tegar dan kukuh.
“Mana istrimu, Ibu mau pamit …,” kata Bu Danu teduh. Seakan disulap, tiba-tiba Bu Jono sudah berada di samping suaminya. “Sering-sering Ibu ditengok, ya …,” ucap Bu Danu datar. “Oh tentu, Bu, tentu …!” Sahut Bu Jono mesra dan ramah. Pak Jono tidak memahami arti kata-kata istrinya yang tiba-tiba lembut dan ramah itu. Ia merasa di awing-awang ketika menggandeng ibunya menuju becak yang telah menunggu. Dunia terasa kosong dan hampa.
Sejak Bu Danu tinggal di rumah jompo, Pak Jono sering benggong, bukan karena rindu kepada ibunya, bukan pula menyesal mempunyai istri Bu Jono. Tidak. Ia akan tetap mencintai istrinya untuk selamanya.
Setiap malam, di kala Pak Jono terbangun, ia menatap lekat wajah istrinya yang sedang pulas beermimpi …., istrinya kini semakin tua, sudah tidak cantik lagi seperti dua puluh tahun yang lalu. Kini Yanto dan Susi sudah mulai pacaran. Bila kedua anaknya menikah, Pak Jono dan Bu Jono juga akan menjadi mertua.
“Semua orang akan tua, suami-istri pada akhirnya akan mempunyai menantu dan menjadi mertua,” batin Pak Jono sambil melirik istrinya yang tidur lelap. Ingin sebenarnya Pak Jono membengunkan istrinya dan mengatakan bahwa ia takut menjadi mertua, terutama bila ibu kandungnya saat ini berada di rumah jompo. Tapi, keinginannya tinggal keinginan, tak pernah terlaksana.
Bu Jono tidak pernah menyadari bahwa dirinya suatu saat kelak jiga akan mempunyai menantu perempuan, juga akan menjadi mertua, bahkan mungkin juga akan menjadi makluk penyebaba persengketaan antara suami-istri.
Labels:
Stories
Tempurung Buat Ibu
Hasan, anak satu-satunya Nenek Dullah. Mereka tinggal di desa kecil jauh dari kota. Hasan kecil dibesarkan hingga meraih gelar sarjana. Untuk membiayai anak satu-satunya itu, siang dan malam Nenek Dullah membanting tulang seorang diri. Semua itu dijalaninya demi cintanya kepada suaminya yang telah tiada sejak Hasan baru mulai belajar berjalan
Mengingat ibunya yang telah tua, Hasan yang merasa dibesarkan, memboyongnya ke kota setelah disepakati oleh istrinya tercinya, Minah.
Ketika Minah hamil, Nenek Dullah mulai sakit-sakitan dan bahkan muntah darah. Minah mendesak agar ibunya dibuatkan tempat terpisah, karena mungkin ibunya terkena TBC. Ia khawatir jika anaknya nanti lahir bias-bisa tertular penyakit itu.
Dengan hati berat Hasan membuatkan gubug di belakang rumah dan memnta ibunya tinggal di situ. Meskipun tidak melek huruf, Nenek Dullah cukup tahu diri. Ia menganggap umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang telah dinikmati dan dilaluinya. Ia cukup bahagi melihat anak dan menantunya hidup bahagia …. Apalagi akan segera mempunyai cucu, maka dengan senang hati Nenek Dullah tinggal di gubug belakang rumah.
Mula-mula segala kebutuhan Nenek Dullah dipenuhu, namun lama-kelamaan sering terlupakan, makanan ditaruh di depan gubug dan Nenek Dullah mengambilnya dari dalam, piring dan gelas pecah, Hasan lupa menggantinya… Dan akhirnya tempurung yang tergeletak di dekat gubug dipungutnya untuk tempat makan dan minum Nenek Dullah.
Anak Hasan lahir laki-laki diberi nama Amran, ketika mulai besar, ia dilarang bermain-main disekitar gubug bahkan mendekatpun tak boleh.
Suatu saat Hasan dan Minah pergi, Amran di rumah sendirian. Ia ingin tahu mengapa dilarang mendekati gubug. Ia mengintip ke dalam gubug dan terlihat ada nenek pucat berambut putih sedang berbaring. Amran bertanya dan Nenek Dullah menjawab, bahwa ia neneknya, ibu dari bapaknya.
“Nek, bukakan puntu, Nek,” Pinta Amran
Alangkah gembiranya Si Nenek, seolah darah segar menyiram wajahnya yang pucat, seketika menjadi berseri-seri karena girangnya. Langkah lucu dan suara anak inilah yang selama ini dirindukannya. Amran heran dan bertanya mengapa neneknya makan dan minum hanya pakai tempurung. Neneknya menjawab, ”Amran, nenek orang tua tidak usah pakai piring dan gelas, cukup pakai tempurung ini saja.”
Amran kembali ke rumah selagi ayah dan ibunya belum pulang ia takut, kalau ketahuan pasti dimarahi.
Pada suatu hari Amran diajak ayah ibunya berjalan-jalan ke kota, ia melihat tempurung di dekat selokan, terongak di antara tumpukan sampah. Ia meminta kepada orang tuanya untuk mengambil tempurung itu. Permintaan aneh itu ditolak oleh Hasan dan Minah.
Tapi sambil menangis Amran meminta terus agar diambilkan tempurung itu. Terpaksa ibunya mengambilkan lalu bertanya, “Amran saying, untuk apa tempurung ini?”
Tanpa pikir panjang si kecil, Amran menjawab, “Untuk tempat makan dan minum Ibu kalau sudah tua seperti nenek.”
Hasan dan Minah sangat heran mendengar jawaban anaknya, mereka bertanya, “Mengapa begitu?”
“Bukankah nenek Amran yang tinggal di gubuk belakang rumah makan dan minum hanya pakai tempurung. Kalau ibu sudah tua akan Amran buatkan gubug yang jelek, dan tempurung ini untuk tempat makan dan menum ibuk,” jawab Amran polos
Di siang cerah itu Hasan dan Minah seperti disambar petir, mereka baru menyadari segala tingkah lakunya selamau ini, yang menyia-nyiakan orang tua dan mertuanya
Mengingat ibunya yang telah tua, Hasan yang merasa dibesarkan, memboyongnya ke kota setelah disepakati oleh istrinya tercinya, Minah.
Ketika Minah hamil, Nenek Dullah mulai sakit-sakitan dan bahkan muntah darah. Minah mendesak agar ibunya dibuatkan tempat terpisah, karena mungkin ibunya terkena TBC. Ia khawatir jika anaknya nanti lahir bias-bisa tertular penyakit itu.
Dengan hati berat Hasan membuatkan gubug di belakang rumah dan memnta ibunya tinggal di situ. Meskipun tidak melek huruf, Nenek Dullah cukup tahu diri. Ia menganggap umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang telah dinikmati dan dilaluinya. Ia cukup bahagi melihat anak dan menantunya hidup bahagia …. Apalagi akan segera mempunyai cucu, maka dengan senang hati Nenek Dullah tinggal di gubug belakang rumah.
Mula-mula segala kebutuhan Nenek Dullah dipenuhu, namun lama-kelamaan sering terlupakan, makanan ditaruh di depan gubug dan Nenek Dullah mengambilnya dari dalam, piring dan gelas pecah, Hasan lupa menggantinya… Dan akhirnya tempurung yang tergeletak di dekat gubug dipungutnya untuk tempat makan dan minum Nenek Dullah.
Anak Hasan lahir laki-laki diberi nama Amran, ketika mulai besar, ia dilarang bermain-main disekitar gubug bahkan mendekatpun tak boleh.
Suatu saat Hasan dan Minah pergi, Amran di rumah sendirian. Ia ingin tahu mengapa dilarang mendekati gubug. Ia mengintip ke dalam gubug dan terlihat ada nenek pucat berambut putih sedang berbaring. Amran bertanya dan Nenek Dullah menjawab, bahwa ia neneknya, ibu dari bapaknya.
“Nek, bukakan puntu, Nek,” Pinta Amran
Alangkah gembiranya Si Nenek, seolah darah segar menyiram wajahnya yang pucat, seketika menjadi berseri-seri karena girangnya. Langkah lucu dan suara anak inilah yang selama ini dirindukannya. Amran heran dan bertanya mengapa neneknya makan dan minum hanya pakai tempurung. Neneknya menjawab, ”Amran, nenek orang tua tidak usah pakai piring dan gelas, cukup pakai tempurung ini saja.”
Amran kembali ke rumah selagi ayah dan ibunya belum pulang ia takut, kalau ketahuan pasti dimarahi.
Pada suatu hari Amran diajak ayah ibunya berjalan-jalan ke kota, ia melihat tempurung di dekat selokan, terongak di antara tumpukan sampah. Ia meminta kepada orang tuanya untuk mengambil tempurung itu. Permintaan aneh itu ditolak oleh Hasan dan Minah.
Tapi sambil menangis Amran meminta terus agar diambilkan tempurung itu. Terpaksa ibunya mengambilkan lalu bertanya, “Amran saying, untuk apa tempurung ini?”
Tanpa pikir panjang si kecil, Amran menjawab, “Untuk tempat makan dan minum Ibu kalau sudah tua seperti nenek.”
Hasan dan Minah sangat heran mendengar jawaban anaknya, mereka bertanya, “Mengapa begitu?”
“Bukankah nenek Amran yang tinggal di gubuk belakang rumah makan dan minum hanya pakai tempurung. Kalau ibu sudah tua akan Amran buatkan gubug yang jelek, dan tempurung ini untuk tempat makan dan menum ibuk,” jawab Amran polos
Di siang cerah itu Hasan dan Minah seperti disambar petir, mereka baru menyadari segala tingkah lakunya selamau ini, yang menyia-nyiakan orang tua dan mertuanya
Labels:
Stories
Langganan:
Postingan (Atom)