Salah satu penyebab suami istri rebut adalah sesosok wanita tua yaitu ibu mertua. Setidaknyademikianlah pengakuan Pak Jono yang telah menikahi Bu Jono hamper dua puluh tahun, yang kini telah menjadi ayah dua remaja, Yanto dan Susi.
Sejak Bu Danu, ibu kandung Pak Jono, tinggal di rumah mereka, Pak Jono sering cekcok. Penyebabnya tidak lain adalah Bu Danu.
“Tak kusangka ibumu penyabar, baik hati, lemah-lembut, dan saying padaku. Aku tahu bahwa Mas harus berbakti kepada orang tua. Namun, kehadirannya di rumah ini Mas, membuat aku tidak bebas, merasa tertekan, dan seraba kikuk,” begitu selalu jawaban Bu Jono bila ditanya mengapa cemberit terus.
Pak Jono yang mencoba menentramkanhati istrinya selalu berkata, “Sewajarnya kalau kita sama-sama menghormati, baik kepada orang tua maupun mertua.”
“Apakah selama ini aku tidak menghormati ibumu, Mas?” Tanya Bu Jono. “Saya tahu … sudah, namun aku sekedar mengingatkanmu,” kata Pak Jono. “Aku juga berhak mengingatkanmu, Mas! Sebelum ibumu tinggal di rumah ini, kita tentram dan jarang cekcok. Namun sekarang, hamper setiap hari cekcok, keadaan yang semula damai menjadi tegang.”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya..”
“Sttt … jangan keras-keras,” sahut Pak Jono, meskipun tahu pendengaran ibunya sudah jauh menurun. “Nah, … Ini salah satu contoh. Di rumah sendiri saja dilarang bicara keras!” Sahut Bu Jono ketus. Pak Jono menelan ludah … menelan rasa pahit dan getir yang melumuri rongga mulutnya.
“Saya tahu, Mas, bahwa anak harus membalas budi ibu yang telah mengandungnya, terlebih ibumu yang semakin tua. Tetapi kau lupa, Mas, dulu aku hormat kepada ibumu, namun aku sekarang menganggapnya sebagai pengganggu ketentraman kita …!”
Pak Jono merasa tercekik lehernya, sesak napasnya. Tak terasa istrinya bertambah nekat, berani membanting piring di depan hidungnya. Puncak pertengkaran terjadi dan Bu Jono berkata dengan kerasnya, “lebih baik ibumu di titipkan di rumah jompo saja, Mas!”
“Rumah jompo …?!” ulang Pak Jono tanpa sadar. Ia dipenuhi bayangan sosok rumah jompo yang teronggok sedih di mulut liang kuburan. Di sanakah tempat yang tepat untuk ibuku …? Tempat orang yang telah mengandungku, menyusuiku, da membesarkanku? Di sanakah tempat ibuku? Di tempat sunyi yang pekat dengan perasaan telah ditinggalkan anak, cucu,dan menantu yang katanya dengan tulus mencintainya?”
“Kau harus menjelaskan kepada ibumu, Mas! Kalau tidak aku yang akan bicara!” kata Bu Jono keras. “Jangan …! Aku yang bicara!” kata Pak Jono. Ia khawatir kalau istrinya yang bicara akan keras-keras karena Bu Danu sudah tuli dan itu tentu akan terdengar oleh tetangga.
Seakan ditolong oleh malaikat, Pak Jono mampu mengutarakan perihal rumah jompo kepada ibu kandungnya. Di luar dugaannya, dengan senyum Bu Danu bersedia pergi dari rumah itu dan berkata, “Kebahagiaan kalian lebih penting dari kebahagiaan yang dapat kukecap di akhir hidupku,” katanya parau dalam senyum tulus seorang ibu.
Di kala Bu Danu melipat baju dan kain yang tidak lebih dari tiga lembar dan dimasukkan ke dalam tas plastik, Pak Jono merasa betapa matanya panas, dadanya sesak, dan rongga perutnya perih terpilin perasaan sedih namun tak berdaya. Dengan kaki gemetar Pak Jono berdiri di sisi Bu Danu yang tampak renta tetapi tegar dan kukuh.
“Mana istrimu, Ibu mau pamit …,” kata Bu Danu teduh. Seakan disulap, tiba-tiba Bu Jono sudah berada di samping suaminya. “Sering-sering Ibu ditengok, ya …,” ucap Bu Danu datar. “Oh tentu, Bu, tentu …!” Sahut Bu Jono mesra dan ramah. Pak Jono tidak memahami arti kata-kata istrinya yang tiba-tiba lembut dan ramah itu. Ia merasa di awing-awang ketika menggandeng ibunya menuju becak yang telah menunggu. Dunia terasa kosong dan hampa.
Sejak Bu Danu tinggal di rumah jompo, Pak Jono sering benggong, bukan karena rindu kepada ibunya, bukan pula menyesal mempunyai istri Bu Jono. Tidak. Ia akan tetap mencintai istrinya untuk selamanya.
Setiap malam, di kala Pak Jono terbangun, ia menatap lekat wajah istrinya yang sedang pulas beermimpi …., istrinya kini semakin tua, sudah tidak cantik lagi seperti dua puluh tahun yang lalu. Kini Yanto dan Susi sudah mulai pacaran. Bila kedua anaknya menikah, Pak Jono dan Bu Jono juga akan menjadi mertua.
“Semua orang akan tua, suami-istri pada akhirnya akan mempunyai menantu dan menjadi mertua,” batin Pak Jono sambil melirik istrinya yang tidur lelap. Ingin sebenarnya Pak Jono membengunkan istrinya dan mengatakan bahwa ia takut menjadi mertua, terutama bila ibu kandungnya saat ini berada di rumah jompo. Tapi, keinginannya tinggal keinginan, tak pernah terlaksana.
Bu Jono tidak pernah menyadari bahwa dirinya suatu saat kelak jiga akan mempunyai menantu perempuan, juga akan menjadi mertua, bahkan mungkin juga akan menjadi makluk penyebaba persengketaan antara suami-istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar