Hasan, anak satu-satunya Nenek Dullah. Mereka tinggal di desa kecil jauh dari kota. Hasan kecil dibesarkan hingga meraih gelar sarjana. Untuk membiayai anak satu-satunya itu, siang dan malam Nenek Dullah membanting tulang seorang diri. Semua itu dijalaninya demi cintanya kepada suaminya yang telah tiada sejak Hasan baru mulai belajar berjalan
Mengingat ibunya yang telah tua, Hasan yang merasa dibesarkan, memboyongnya ke kota setelah disepakati oleh istrinya tercinya, Minah.
Ketika Minah hamil, Nenek Dullah mulai sakit-sakitan dan bahkan muntah darah. Minah mendesak agar ibunya dibuatkan tempat terpisah, karena mungkin ibunya terkena TBC. Ia khawatir jika anaknya nanti lahir bias-bisa tertular penyakit itu.
Dengan hati berat Hasan membuatkan gubug di belakang rumah dan memnta ibunya tinggal di situ. Meskipun tidak melek huruf, Nenek Dullah cukup tahu diri. Ia menganggap umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang telah dinikmati dan dilaluinya. Ia cukup bahagi melihat anak dan menantunya hidup bahagia …. Apalagi akan segera mempunyai cucu, maka dengan senang hati Nenek Dullah tinggal di gubug belakang rumah.
Mula-mula segala kebutuhan Nenek Dullah dipenuhu, namun lama-kelamaan sering terlupakan, makanan ditaruh di depan gubug dan Nenek Dullah mengambilnya dari dalam, piring dan gelas pecah, Hasan lupa menggantinya… Dan akhirnya tempurung yang tergeletak di dekat gubug dipungutnya untuk tempat makan dan minum Nenek Dullah.
Anak Hasan lahir laki-laki diberi nama Amran, ketika mulai besar, ia dilarang bermain-main disekitar gubug bahkan mendekatpun tak boleh.
Suatu saat Hasan dan Minah pergi, Amran di rumah sendirian. Ia ingin tahu mengapa dilarang mendekati gubug. Ia mengintip ke dalam gubug dan terlihat ada nenek pucat berambut putih sedang berbaring. Amran bertanya dan Nenek Dullah menjawab, bahwa ia neneknya, ibu dari bapaknya.
“Nek, bukakan puntu, Nek,” Pinta Amran
Alangkah gembiranya Si Nenek, seolah darah segar menyiram wajahnya yang pucat, seketika menjadi berseri-seri karena girangnya. Langkah lucu dan suara anak inilah yang selama ini dirindukannya. Amran heran dan bertanya mengapa neneknya makan dan minum hanya pakai tempurung. Neneknya menjawab, ”Amran, nenek orang tua tidak usah pakai piring dan gelas, cukup pakai tempurung ini saja.”
Amran kembali ke rumah selagi ayah dan ibunya belum pulang ia takut, kalau ketahuan pasti dimarahi.
Pada suatu hari Amran diajak ayah ibunya berjalan-jalan ke kota, ia melihat tempurung di dekat selokan, terongak di antara tumpukan sampah. Ia meminta kepada orang tuanya untuk mengambil tempurung itu. Permintaan aneh itu ditolak oleh Hasan dan Minah.
Tapi sambil menangis Amran meminta terus agar diambilkan tempurung itu. Terpaksa ibunya mengambilkan lalu bertanya, “Amran saying, untuk apa tempurung ini?”
Tanpa pikir panjang si kecil, Amran menjawab, “Untuk tempat makan dan minum Ibu kalau sudah tua seperti nenek.”
Hasan dan Minah sangat heran mendengar jawaban anaknya, mereka bertanya, “Mengapa begitu?”
“Bukankah nenek Amran yang tinggal di gubuk belakang rumah makan dan minum hanya pakai tempurung. Kalau ibu sudah tua akan Amran buatkan gubug yang jelek, dan tempurung ini untuk tempat makan dan menum ibuk,” jawab Amran polos
Di siang cerah itu Hasan dan Minah seperti disambar petir, mereka baru menyadari segala tingkah lakunya selamau ini, yang menyia-nyiakan orang tua dan mertuanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar